Tuesday, April 27, 2010

Plantations are not forests

Berikut pers release dari Greenpeace sehubungan dengan rencana pemerintah untuk merancang sebuah peraturan yang memasukkan perkebunan kelapa sawit ke dalam kategori hutan.

JAKARTA, Indonesia — Pemerintah saat ini tengah merancang sebuah peraturan yang memasukkan perkebunan kelapa sawit ke dalam kategori hutan. Peraturan ini akan membuat kehancuran dan krisis habitat hewan maupun keanekaragaman hayati di hutan dan lahan gambut akan berkenjutan tanpa terkendali.

Greenpeace menolak rencana peraturan tersebut dengan membentangkan spanduk di Gedung Departemen Kehutanan yang bertuliskan "Plantations are not forests" (perkebunan bukan hutan). Tidak saja Greenpeace yang menolak peraturan tersebut, organisasi lingkungan dan masyarakat sipil pun menolak rencana peraturan tersebut.

Jika perkebunan akhirnya dimasukkan dalam kategori hutan, dikhawatirkan akan menyebabkan makin besarnya emisi dari perusakan hutan dan lahan gambut yang saat ini sudah sangat besar, membawa Indonesia menjadi negara terbesar ketiga penghasil emisi. Tingginya tingkat konsumsi CPO (Minyak Kelapa Sawit) dan rencana penggunaan Biofuel di pasar internasional membuat perluasaan kehancuran hutan dan gambut di Indonesia.

"Menteri Zulkifli Hasan harus segera membatalkan segala rencana untuk memasukkan perkebunan dalam kategori hutan dan mulai fokus pada bagaimana melindungi hutan Indonesia yang masih tersisa, biodiversitas, serta masyarakat yang hidupnya bergantung kepada hutan. Jika rencana ini diteruskan, kerusakan dahsyat hutan akan terjadi dan menteri akan bertanggung jawab atas gagalnya Indonesia memenuhi komitmen penurunan emisi yang telah dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," ujar Joko Arif, Jurukampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara.

Indonesia saat ini berada di posisi ke pertama sebagai Negara dengan laju deforestasi tercepat di seluruh dunia, dan Negara penghasil emisi ketiga terbesar di dunia. Apa yang telah di lontarkan Presiden SBY di suatu forum internasional tentang komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi hingga 26% pada 2020 dan 41% dengan dukungan internasional harus di dukung dengan aksi atau suatu kebijakan yang nyata untuk menjaga hutan alam yang tersisa .

Tetapi yang saat ini terjadi pemerintah tersu mendukung pembukaan perkebunan baru dan membiarkan industri besar seperti Sinar Mas dan APRIL menghancurkan hutan.

Dunia internasional akan melihat Indonesia jika benar-benar memiliki komitmen untuk menjaga hutan. Dana dari Negara internasional pun akan datang sejalan dengan langkah nyata Indonesia. Mempromosikan perkebunan sebagai hutan merupakan sesuatu yang bertolak belakang dengan komitment Presiden SBY. Langkah nyata yang harus di lakukan pemerintah adalah dengan melakukan moratorium (jeda tebang) untuk mengatasi dampak buruk perubahaan iklim dan melindungi masyarakat yang bergantung pada hutan. Moratorium merupakan cara paling efektif.

Beberapa organisasi lingkungan seperti Walhi, Forest Watch dan Sawit watch telah mengirimkan surat secara terbuka kepada menteri kehutanan dan Duta besar Uni Eropa untuk memperingatkan mereka akan bahaya dari rencana peraturan yang salah ini.

Sumber : http://www.greenpeace.org/seasia/id/news/perkebunan-bukan-hutan

Friday, April 23, 2010

Jadwal Piala Dunia 2010

Balikpapan - Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan tinggal sekitar 2 bulan ke depan. Untuk pertama kalinya perhelatan akbar ini akan digelar di Benua Afrika. Sepertinya bakal menghadirkan banyak hal-hal yang tak terduga. Untuk melihat jadwal lengkapnya silahkan unggah disini.

Tuesday, April 20, 2010

Sudah Merajalela, Mafia Tambang Harus Diberantas

Senin, 19/04/2010 20:51 WIB (
Nurseffi Dwi Wahyuni - detikFinance)

Jakarta
- Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mendukung upaya pemberantasan mafia tambang baik di tingkat daerah maupun pusat, yang saat ini sedang dilakukan oleh satuan tugas (satgas) pemberantasan mafia hukum. Karena saat ini praktek mafia tambang sudah sangat merajalela dan menjamur.

"Iya, kami dukung itu. Yang namanya perbaikan mau pusat kena, mau provinsi kena ya biarin saja," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Setiawan sebelum menghadiri rapat kerja dengan Komisi VII, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin malam (19/4/2010).

Selain mafia tambang, hal lain yang harus diberantas adalah kegiatan penambangan liar yang saat ini jumlahnya sudah menjamur di tanah air.

"Kaya illegal minning, itu juga mafia menurut saya, masa menambang pakai buldozer, pakai alat berat itu sih sudah rampok namanya," ungkapnya.

Menanggapi keluhan Direktur PLN Dahlan soal rencana akuisisi sejumlah Kuasa Pertambangan (KP) yang tidak dapat dilakukan BUMN listrik tersebut karena tidak punya kemampuan untuk menyogok, Bambang menilai kasus yang dialami PLN tersebut tidak bisa dikategorikan dalam mafia tambang. Menurutnya, hal itu terjadi karena Pemerintah daerah (Pemda) memberikan izin KP kemana-mana.

"Mafianya bukan mafia. Itu Pemda bagi-bagi izinnya kemana-mana," kata dia.

Seperti diketahui, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mulai mengendus praktek makelar kasus (markus) dalam sektor energi dan pertambangan. Karena itu, mereka akan segera turun ke daerah-daerah untuk membongkar praktek tersebut khususnya di industri batubara.

Menurut Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana, selain merugikan negara, praktek mafia pertambangan juga ikut merusak lingkungan dan hutan. Salah satu indikasi keberadaan mafia tambang, yakni banyaknya kasus tumpang tindih lahan antara perusahaan pemegang kuasa pertambangan batubara dengan kawasan hutan.

Hal senada juga disampaikan Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran, Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas. Menurut dia, praktek mafia perizinan tambang sudah lama terjadi di tanah air. Praktek ini sulit dihilangkan karena tidak hanya melibatkan pemerintah daerah, namun juga pemerintah pusat dan para mantan pejabat tinggi di tanah air.

keberadaan mafia perizinan tambang ini, salah satunya ditunjukkan dengan adanya tumpang tindih izin Kontrak Karya (KK) yang diterbitkan pemerintah pusat dengan izin Kuasa Pertambangan (KP) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah (baik pemerintah Provinsi, maupun Kabupaten/Kota) di suatu wilayah pertambangan.

Selain itu, tumpang tindih juga kerap kali terjadi antara izin KP yang satu dengan KP lainnya.

"Contohnya di Kutai, ada tumpang tindih antara KP yang satu dengan KP yang lain, dan ternyata itu terjadi karena ada suap. Kalau di level pusat, bisa dilihat dari adanya bentrok antara izin usaha pertambangan dengan izin usaha hutan," kata dia.

Untuk praktek mafia di daerah, menurutnya, dimulai sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 1999. Sementara kalau di tingkat pusat, sudah berlangsung sejak KK generasi pertama dikeluarkan pada tahun 1967. Praktek ini semakin subur karena melibatkan berbagai pihak, bukan hanya di tingkat daerah namun hingga ke tingkat pusat.

"Jadi area ini lebih sensitif dari makelar pajak. Karena pertambangan adalah bisnis yang besar dan juga melibatkan mantan pejabat-pejabat tinggi seperti mantan jenderal dan mantan menteri sehingga dibutuhkan keberanian untuk memberantasnya," pungkasnya.
(epi/dnl)


Wednesday, April 7, 2010

Sawit Hanya Boleh di HPK

Jakarta (ANTARA) - Kementerian kehutanan hanya membolehkan penanaman pohon kelapa sawit di areal hutan produksi konversi (HPK) dalam kerangka investasi kehutanan.

Dengan demikian, kata Dirjen Bina Produksi Kehutanan (BPK), Kemenhut, Hadi Daryanto, di Jakarta, Rabu, tanaman sawit hanya merupakan bagian dari konsesi untuk pembangunan kehutanan karena Indonesia justru memiliki keunggulan komparatif dalam bidang keanekaragaman hayati dan luas hutan nasional.

Karena itu, menurut dia, "Rugi kalau kita justru mengejar pembangunan kebun kelapa sawit dengan mengorbankan kawasan hutan yang ada karena Malaysia lebih unggul dari kita. 80 persen kebun sawit di Indonesia juga dikuasai investor Malaysia."

Hadi mengatakan tanaman hutan tetap harus mendominasi areal konsesi. Kalau ingin seluruhnya tanaman sawit, menurut dia, investor bisa memanfaatkan lahan yang sudah disediakan pemerintah seluas tuju juta hektar dan sampai kini masih terlantar karena belum banyak terealisir jadi kebun.

Pada kesempatan itu, Hadi juga mengatakan wacana memasukan tanaman sawit sebagai tanaman hutan yang dibicarakan akhir-akhir ini telah disalahartikan publik.

Menurut dia, masyarakat mengartikan kehutanan mengambil tanaman sawit sebagai komoditas kehutanan. "Sebenarnya bukan itu. Kalau untuk sawit biarkan saja memanfaatkan lahan tujuh juta hektare itu, tapi untuk menanam sawit di kawasan hutan harus di areal HPK yang saat ini masih 23 juta hektar," kata Hadi.

Dirjen BPK itu menjelaskan kawasan HPK yang boleh ditanami sawit juga hanya sekitar 30 persen dari luas tanaman pokok (kayu) yang ada di areal HPK tersebut.

Hadi mengatakan sebenarnya upaya memasukan tanaman nonhutan di areal konsesi HTI sudah dilakukan dengan Kepmen 614/1999 tanggal 9 Agustus 1999 yang diterbitkan satu bulan sebelum UU No.41/1999 tentang kehutanan terbit.

"Dalam aturan itu disebutkan bahwa investasinya berbentuk hutan tanaman campuran. Namun beberapa investor yang diberi izin untuk menggarap HTI jenis ini dicabut izin konsesinya karena tanaman sawit lebih mendominasi dari pada tanaman hutan. Sejak saat itu, rencana memasukan tanaman non hutan dalam areal HTI terus bergulir hingga saat ini."

Apalagi, lanjut dia, ada payung hukum yang memungkinkan tanaman non hutan masuk ke areal HTI, misalnya dalam PP No.6/2007 pasal 39 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan investasi pada hutan tanaman dimungkinkan memasukan tanaman hutan sejenis atau berbagai jenis. Kemudian dalam UU No.41/1999 jo. Pasal 28 alenia ke 4 disebutkan usaha pemanfaatan hutan tanaman boleh dengan tanaman kayu sejenis atau dan tanaman kayu jenis lain.

Pada kesempatan itu, Hadi menegaskan, Kementerian Kehutanan tetap mengutamakan pengelolaan hutan lestari, produksi yang bertanggungjawab, mencegah perambahan dan kebakaran hutan, pemberantasan illegal logging dan berkoordinasi yang baik dengan instansi terkait dalam kerangka penggunaan atau pelepasan kawasan hutan untuk mengurangi laju deforestasi.

"Memasukan sawit dalam areal konsesi HTI itu merupakan wujud dari koordinasi yang baik dengan sektor lain tadi. Ini juga upaya kehutanan meningkatkan investasi di HTI. Kita undang investor menanamkan modalnya di HTI, tapi mereka juga boleh menanam sawit di areal konsesi," kata Hadi.

Untuk menghindari adanya penyalahgunaan ijin seperti tahun 1999 dalam hutan tanaman campuran, lanjut Hadi, pihaknya sedang memfinalisasi peraturan/kebijakan Monitoring Reporting Verificating (MRV) HTI. "Jadi sejak awal mereka menanam terus bisa di monitor, ini wujud transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan HTI," kata dia.

Ia mengatakan saat ini Kementerian Kehutanan tinggal menunggu waktu yang tepat untuk mengeluarkan kebijakan itu. "Sebenarnya tak perlu PP karena sudah ada yakni PP No.6/2007, tinggal merevisinya saja."

Sumber : Antara 10/Mar/2010 20:35

Perkebunan Kelapa Sawit akan Masuk Sektor Kehutanan

JAKARTA. Ini bisa menjadi berita bagus bagi para investor perkebunan kelapa sawit. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, sedang menyiapkan Peraturan Menteri yang akan memasukkan perkebunan kelapa sawit menjadi bagian dari tanaman hutan. Dengan peraturan ini, diharapkan tekanan terkait perusakan lingkungan bagi sektor perkebunan sawit akan bisa dihilangkan.

Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan (BPK) Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto mengatakan PP yang memperbolehkan dimasukkannya perkebunan sawit sudah ada, sehingga sekarang yang perlu dilakukan adalah mengeluarkan peraturan menteri yang mempertegasnya. “PP-nya sudah ada tinggal peraturan menteri saja, kita akan segera mengeluarkannya,” kata Hadi di Jakarta, hari ini.

Ia mengatakan, peraturan ini tidak akan menarik kewenangan Kementerian Pertanian di sektor tersebut. Dengan peraturan ini diharapkan investasi di kelapa sawit tidak akan mengorbankan kawasan hutan, namun tetap berjalan. “Seperti Malaysia, juga seperti definisi FAO (Food and Agriculture Organization) yang menyatakan kebun juga tetap merupakan kawasan hutan. Buat Kehutanan akan ada kenaikan investasi , namun kalau komoditas dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) masuk pertanian kan tidak masalah ,” katanya.

Menurutnya, hal yang sangat bodoh jika Indonesia menggunakan dikotomi atau pembedaan antara perkebunan dan kehutanan, apalagi di peraturan seperti UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan dan peraturan seperti PP 6 tahun 2007 memperbolehkan dimasukkannya perkebunan ke sektor kehutanan. Dalam peraturan tersebut dikatakan, tanaman berbagai jenis bisa dimasukkan dalam sektor kehutanan.

Dengan masuk ke sektor kehutanan, maka akan ada mozaik bukan hanya kebun sawit keseluruhan. “Jika masuk kebun maka semua sawit, tapi di kehutanan ada mozaik, 70% tanaman pokok, 25% tanaman kehidupan dan 5% tanaman pangan,” katanya. Dengan mozaik itu, menurut Hadi, akan ada kawasan lindung yang ditujukan untuk pelestarian lingkungan dan perlindungan satwa sehingga wawasan lingkungannya akan lebih kuat.

Menurutnya, izin yang diberikan untuk perkebunan sawit nantinya bukan berupa hak guna usaha (HGU), karena dengan HGU seperti menjadi milik pribadi sehingga investor akan melakukan efisiensi sehingga semua ruang akan ditanami sawit. Ia mencontohkan, di kehutanan ada Hutan Tanaman Industri (HTI) yang lebih bagus dari segi lingkungan karena ada zoning.

Ketentuan ini akan diberlakukan untuk investasi kelapa sawit yang baru, dan kepada regenerasi dari investasi yang sudah jalan. “Yang sudah jalan akan susah diterapkan, nanti pada waktu regenerasi baru akan diberlakukan,” katanya.


Kelapa Sawit Boleh Ditanam di Hutan Produksi

Jakarta - Kementrian Kehutanan mempersiapkan Peraturan Menteri yang memperbolehkan penanaman kelapa sawit menjadi bagian dari pembangunan hutan tanaman.

"Peraturan Pemerintah (PP)-nya sudah ada, tinggal peraturan menteri saja. Kita akan segera mengeluarkannya," kata Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Produksi Kehutanan (BPK) Kementrian Kehutanan, Hadi Daryanto, di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, Permenhut yang mengatur tentang tata laksana usaha perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan ini diharapkan dapat menekan kerusakan.

Hadi menambahkan Permen itu merujuk PP yang memperbolehkan dimasukkannya perkebunan sawit sebagai bagian dari usaha sektor kehutanan, namun, bukan berarti akan menarik kewenangan Kementerian Pertanian di sektor tersebut.

"Melalui peraturan ini diharapkan investasi di kelapa sawit tidak akan mengorbankan kawasan hutan, namun tetap berjalan," katanya.

Dia mencontohkan kebijakan negara tetangga Malaysia yang memasukkan system pengelolaan perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari kegiatan sector kehutanan. Bahkan organisasi dunia Food and Agriculture Organization (FAO) mendifinisikan pengelolaan perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari kegiatan di kawasan hutan.

"Ketentuan ini akan mendorong dan menaikkan investasi di sektor kehutanan. Namun kalau Badan Pusat Statistik (BPS) memasukkan kelapa sawit dalam subsektor pertanian tidak masalah," katanya.

Menurut dia, sangat bodoh jika pemerintah Indonesia menggunakan dikotomi atau membedakan antara perkebunan dan kehutanan. Apalagi diatur perundang-undangan, seperti UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan dan peraturan seperti PP 6 tahun 2007 memperbolehkan penanaman pohon perkebunan dalam kawasan hutan tanaman.

"Dalam peraturan tersebut dikatakan, tanaman berbagai jenis bisa dimasukkan dalam sektor kehutanan."

Apabila sektor perkebunan kelapa sawit masuk menjadi bagian kegiatan kehutanan, lanjutnya, akan ada HTI mozaik yang tidak hanya berisi tanaman keras di seluruh hamparan, tetapi juga ada tanaman kelapa sawit.

"Jika masuk kebun maka semua sawit, tapi di kehutanan ada mozaik, 70 persen tanaman pokok, 25 persen tanaman kehidupan dan 5 persen tanaman pangan," katanya.

Menurut dia, izin yang diberikan untuk perkebunan sawit di hutan produksi nantinya bukan berupa hak guna usaha (HGU), karena dengan HGU seperti menjadi milik pribadi, sehingga investor akan melakukan efisiensi sehingga semua ruang akan ditanami sawit.

Ia mencontohkan, di kehutanan ada Hutan Tanaman Industri (HTI) yang lebih bagus dari segi lingkungan karena ada zoning. Ketentuan ini akan diberlakukan untuk investasi kelapa sawit yang baru dan kepada regenerasi dari investasi yang sudah jalan.

"Aturan ini susah diterakan untuk hutan tanaman yang sudah jalan. Pada waktunya nanti, regenerasi baru akan diberlakukan," katanya. (A027/K004)

Sumber : http://www.indonesia.go.id/id/

Perkebunan Sawit Pemilik RSPO Masih Minim

PEKANBARU: Pasar crude palm oil (CPO) di Uni Eropa mengutamakan produk yang memiliki sertifikat RSPO, tetapi diIndonesia, perusahaan yang mengantongi sertifikat itu masih minim (3 perusahaan).


Ketua Bidang Budidaya dan Industri Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Daud Dharsono, mengatakan saat ini negara-negara di Eropa dan Amerika lebih mengedepankan produk yang berkelanjutan.

“Ke depan, produk-produk yang tersertifikasi lebih mendapat prioritas,” tuturnya pada Workshop Sustainable Palm Oil yang digelar Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit
Indonesia (Gapki) di Pekanbaru, Selasa.

Di Indonesia, baru tiga perusahaan yang termasuk di antara 11 perusahaan kelapa sawit di dunia yang telah memiliki sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Dari tiga perusahaan itu, total CPO yang termasuk produk minyak sawit berkelanjutan (sustainable palm oil/SPO) sekitar 1,7 juta ton, sedangkan total produksi CPO Indonesia sekitar 20 juta ton.

Daud mengatakan minimnya perusahaan industri sawit yang memiliki sertifikat RSPO merugikan kelangsungan ekspor CPO Indonesia. Pasalnya, total produksi CPO Indonesia sudah mencapai 20 juta ton dan mayoritas berorientasi ekspor.

Adapun penggunaan CPO yang diserap untuk keperluan di dalam negeri hanya 5 juta ton. “Kalau hal ini terus dibiarkan, CPO kita tidak bisa bersaing, bahkan bisa tidak laku di pasar dunia," ujarnya.

Kendala umum


Dia mengatakan salah satu kendala umum dari penerapan sertifikasi RSPO di Indonesia adalah mengenai kriteria penanaman sawit di daerah aliran sungai agar ramah lingkungan.

Dalam aturan RSPO, daerah aliran sungai tidak boleh seluruhnya ditanami sawit karena harus berjarak 50 meter dari tepian.

“Hal itu, tampaknya sulit dilakukan karena kondisi di lapangan kebun sawit sudah menjejali hingga pinggiran sungai, apalagi untuk perkebunan rakyat yang menjadi mitra perusahaan,” katanya.

Liaison Officer RSPO Indonesia, Desi Kusumadewi, mengatakan sertifikasi ini dianggap sebagai indikator CPO yang dijual telah melalui tahap evaluasi, sebagai bentuk efisiensi usaha dan produktivitas minyak sawit yang dihasilkan.

“Di dunia, baru 11 perusahaan yang telah mendapatkan sertifikasi RSPO, dan tiga di antaranya perusahaan
Indonesia,” ujarnya.

Dia mengatakan saat ini berbagai perusahaan di dunia mulai menerapkan prinsip dan kriteria RSPO untuk mendapatkan sertifikasi tersebut. Bahkan, meski ini tidak diwajibkan dan hanya bersifat sukarela, perusahaan dan pasar tetap memperhatikan hal ini sejak beberapa waktu lalu.

Ke-11 perusahaan yang telah mendapatkan sertifikasi RSPO tersebut tersebar di tiga negara yakni
Indonesia, Malaysia, dan Papua Nugini (PNG). Saat ini juga terdapat 14 perusahaan yang di audit lembaga sertifikasi independent yang mendapat persetujuan dari RSPO seperti Control Union, SDS dan Sucofindo.

Di Indonesia, baru tiga perusahaan yang sudah mendapat sertifikasi RSPO. Yakni PT Musim Mas di Sorek (Riau) pada 19 Januari 2009, PT Hindoli di Sumatra Selatan pada 26 Februari 2009, sedangkan di Sumatra Utara PT PP London Sumatra pada 30 April 2009.

Perusahaan yang sudah diaudit tetapi belum mendapat sertifikasi di antaranya PT Sime Indo Agro di Kalimantan Barat, PT Bakrie Sumatera Plantation di Kisaran, PT Indotruba Tengah Plantation di Kalteng. Pada 23 Mei dan 12 Juni lalu PT Tunggal Mitra dan PT Berkat Sawit Sejati telah diaudit, terakhir PT Agrowiratama di Sumbar pada 15 Juni 2009.

Laksama Aditya, Direktur Asian Agri, mengatakan sejauh ini perusahaannya tengah melakukan proses menuju mendapatkan RSPO bagi produk CPO. “Saat ini, kita sedang dievaluasi untuk mendapatkan sertifikasi RSPO. Namun, yang terpenting, ada komitmen untuk mengarah ke
sana. Mudah-mudahan bisa cepat hasil evaluasinya,” katanya.

Dia mengatakan untuk mendapatkan sertifikasi RSPO itu hampir sama ketika Asian Agri mendapatkan serifikasi ISO 9000 dan ISO 1400 yang mengarahkan perusahaan untuk kembali menjaga konsistensi dan proses dokumentasi. “Proses dokumentasi ini
kan perlu ditata kembali dan ditertibkan. Ini perlu waktu. Dokumentasi yang tertata itu sangat penting dan menjadi poin pokok yang harus diperhatikan,” jelasnya. (k52) (redaksi@bisnis.co.id)

Sumber : Bisnis
Indonesia, Jum’at 3 Juli 2009 Hal.16