Jakarta (ANTARA) - Kementerian kehutanan hanya membolehkan penanaman pohon kelapa sawit di areal hutan produksi konversi (HPK) dalam kerangka investasi kehutanan.
Dengan demikian, kata Dirjen Bina Produksi Kehutanan (BPK), Kemenhut, Hadi Daryanto, di Jakarta, Rabu, tanaman sawit hanya merupakan bagian dari konsesi untuk pembangunan kehutanan karena Indonesia justru memiliki keunggulan komparatif dalam bidang keanekaragaman hayati dan luas hutan nasional.
Karena itu, menurut dia, "Rugi kalau kita justru mengejar pembangunan kebun kelapa sawit dengan mengorbankan kawasan hutan yang ada karena Malaysia lebih unggul dari kita. 80 persen kebun sawit di Indonesia juga dikuasai investor Malaysia."
Hadi mengatakan tanaman hutan tetap harus mendominasi areal konsesi. Kalau ingin seluruhnya tanaman sawit, menurut dia, investor bisa memanfaatkan lahan yang sudah disediakan pemerintah seluas tuju juta hektar dan sampai kini masih terlantar karena belum banyak terealisir jadi kebun.
Pada kesempatan itu, Hadi juga mengatakan wacana memasukan tanaman sawit sebagai tanaman hutan yang dibicarakan akhir-akhir ini telah disalahartikan publik.
Menurut dia, masyarakat mengartikan kehutanan mengambil tanaman sawit sebagai komoditas kehutanan. "Sebenarnya bukan itu. Kalau untuk sawit biarkan saja memanfaatkan lahan tujuh juta hektare itu, tapi untuk menanam sawit di kawasan hutan harus di areal HPK yang saat ini masih 23 juta hektar," kata Hadi.
Dirjen BPK itu menjelaskan kawasan HPK yang boleh ditanami sawit juga hanya sekitar 30 persen dari luas tanaman pokok (kayu) yang ada di areal HPK tersebut.
Hadi mengatakan sebenarnya upaya memasukan tanaman nonhutan di areal konsesi HTI sudah dilakukan dengan Kepmen 614/1999 tanggal 9 Agustus 1999 yang diterbitkan satu bulan sebelum UU No.41/1999 tentang kehutanan terbit.
"Dalam aturan itu disebutkan bahwa investasinya berbentuk hutan tanaman campuran. Namun beberapa investor yang diberi izin untuk menggarap HTI jenis ini dicabut izin konsesinya karena tanaman sawit lebih mendominasi dari pada tanaman hutan. Sejak saat itu, rencana memasukan tanaman non hutan dalam areal HTI terus bergulir hingga saat ini."
Apalagi, lanjut dia, ada payung hukum yang memungkinkan tanaman non hutan masuk ke areal HTI, misalnya dalam PP No.6/2007 pasal 39 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan investasi pada hutan tanaman dimungkinkan memasukan tanaman hutan sejenis atau berbagai jenis. Kemudian dalam UU No.41/1999 jo. Pasal 28 alenia ke 4 disebutkan usaha pemanfaatan hutan tanaman boleh dengan tanaman kayu sejenis atau dan tanaman kayu jenis lain.
Pada kesempatan itu, Hadi menegaskan, Kementerian Kehutanan tetap mengutamakan pengelolaan hutan lestari, produksi yang bertanggungjawab, mencegah perambahan dan kebakaran hutan, pemberantasan illegal logging dan berkoordinasi yang baik dengan instansi terkait dalam kerangka penggunaan atau pelepasan kawasan hutan untuk mengurangi laju deforestasi.
"Memasukan sawit dalam areal konsesi HTI itu merupakan wujud dari koordinasi yang baik dengan sektor lain tadi. Ini juga upaya kehutanan meningkatkan investasi di HTI. Kita undang investor menanamkan modalnya di HTI, tapi mereka juga boleh menanam sawit di areal konsesi," kata Hadi.
Untuk menghindari adanya penyalahgunaan ijin seperti tahun 1999 dalam hutan tanaman campuran, lanjut Hadi, pihaknya sedang memfinalisasi peraturan/kebijakan Monitoring Reporting Verificating (MRV) HTI. "Jadi sejak awal mereka menanam terus bisa di monitor, ini wujud transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan HTI," kata dia.
Ia mengatakan saat ini Kementerian Kehutanan tinggal menunggu waktu yang tepat untuk mengeluarkan kebijakan itu. "Sebenarnya tak perlu PP karena sudah ada yakni PP No.6/2007, tinggal merevisinya saja."
No comments:
Post a Comment