Senin, 19/04/2010 20:51 WIB (
Nurseffi Dwi Wahyuni - detikFinance)
"Iya, kami dukung itu. Yang namanya perbaikan mau pusat kena, mau provinsi kena ya biarin saja," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Setiawan sebelum menghadiri rapat kerja dengan Komisi VII, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin malam (19/4/2010).
Selain mafia tambang, hal lain yang harus diberantas adalah kegiatan penambangan liar yang saat ini jumlahnya sudah menjamur di tanah air.
"Kaya illegal minning, itu juga mafia menurut saya, masa menambang pakai buldozer, pakai alat berat itu sih sudah rampok namanya," ungkapnya.
Menanggapi keluhan Direktur PLN Dahlan soal rencana akuisisi sejumlah Kuasa Pertambangan (KP) yang tidak dapat dilakukan BUMN listrik tersebut karena tidak punya kemampuan untuk menyogok, Bambang menilai kasus yang dialami PLN tersebut tidak bisa dikategorikan dalam mafia tambang. Menurutnya, hal itu terjadi karena Pemerintah daerah (Pemda) memberikan izin KP kemana-mana.
"Mafianya bukan mafia. Itu Pemda bagi-bagi izinnya kemana-mana," kata dia.
Seperti diketahui, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mulai mengendus praktek makelar kasus (markus) dalam sektor energi dan pertambangan. Karena itu, mereka akan segera turun ke daerah-daerah untuk membongkar praktek tersebut khususnya di industri batubara.
Menurut Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana, selain merugikan negara, praktek mafia pertambangan juga ikut merusak lingkungan dan hutan. Salah satu indikasi keberadaan mafia tambang, yakni banyaknya kasus tumpang tindih lahan antara perusahaan pemegang kuasa pertambangan batubara dengan kawasan hutan.
Hal senada juga disampaikan Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran, Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas. Menurut dia, praktek mafia perizinan tambang sudah lama terjadi di tanah air. Praktek ini sulit dihilangkan karena tidak hanya melibatkan pemerintah daerah, namun juga pemerintah pusat dan para mantan pejabat tinggi di tanah air.
keberadaan mafia perizinan tambang ini, salah satunya ditunjukkan dengan adanya tumpang tindih izin Kontrak Karya (KK) yang diterbitkan pemerintah pusat dengan izin Kuasa Pertambangan (KP) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah (baik pemerintah Provinsi, maupun Kabupaten/Kota) di suatu wilayah pertambangan.
Selain itu, tumpang tindih juga kerap kali terjadi antara izin KP yang satu dengan KP lainnya.
"Contohnya di Kutai, ada tumpang tindih antara KP yang satu dengan KP yang lain, dan ternyata itu terjadi karena ada suap. Kalau di level pusat, bisa dilihat dari adanya bentrok antara izin usaha pertambangan dengan izin usaha hutan," kata dia.
Untuk praktek mafia di daerah, menurutnya, dimulai sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 1999. Sementara kalau di tingkat pusat, sudah berlangsung sejak KK generasi pertama dikeluarkan pada tahun 1967. Praktek ini semakin subur karena melibatkan berbagai pihak, bukan hanya di tingkat daerah namun hingga ke tingkat pusat.
"Jadi area ini lebih sensitif dari makelar pajak. Karena pertambangan adalah bisnis yang besar dan juga melibatkan mantan pejabat-pejabat tinggi seperti mantan jenderal dan mantan menteri sehingga dibutuhkan keberanian untuk memberantasnya," pungkasnya. (epi/dnl)
No comments:
Post a Comment