Tuesday, May 18, 2010

Izin Pelepasan Hutan untuk Perkebunan Dihentikan

Rabu, 12 Mei 2010 | 03:37 WIB

Jakarta, Kompas - Kementerian Kehutanan meminta investor mengoptimalkan pemakaian lahan yang telah dialokasikan untuk perkebunan dan lahan telantar yang belum ditanami. Oleh karena itu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan belum menandatangani satu pun izin pelepasan hak kawasan hutan untuk ekspansi perkebunan.

”Saya minta mereka memakai dulu lahan yang belum ditanami atau memakai lahan telantar yang ditertibkan belakangan ini,” kata Menhut saat menerima juru kampanye Greenpeace Asia Tenggara Bustar Maitar, Joko Arif, Yuyun, dan Zulkifli di Jakarta, Selasa (11/5). Menhut didampingi Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Hadi Daryanto, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Darori, serta Direktur Perlindungan PHKA Muhammad Awria Ibrahim.

Hingga 2009, sudah dialokasikan 8,8 juta hektar kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), yakni 4,19 juta hektar dalam proses pencadangan dan 4,67 juta hektar menunggu surat keputusan pelepasan kawasan hutan dari Menhut. Dari 2,4 juta hektar perkebunan yang memiliki hak guna usaha, baru 1,6 juta hektar yang ditanami.

Menhut juga berencana melarang pemakaian lahan gambut dengan ketebalan lebih dari 2 meter. Saat ini larangan baru untuk lahan gambut dengan ketebalan lebih dari 3 meter karena melepas emisi karbon hingga 1.000 metrik ton per hektar.

Menhut berharap, semua organisasi nonpemerintah bekerja sama dengan pemerintah menyelamatkan hutan Indonesia.

Menurut Bustar, hal itu sejalan dengan Greenpeace, yakni mencegah perusahaan melakukan aksi yang memalukan pemerintah di forum internasional. Kampanye Semenanjung Kampar Riau, misalnya, untuk mencegah Presiden dipermalukan dengan klaim penurunan emisi 26 persen pada 2020 karena di lapangan ada perusahaan yang melanggar asas lingkungan.(HAM).

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/12/03373532/.izin.pelepasan.hutan.untuk.perkebunan.dihentikan.

Monday, May 10, 2010

Tuhan 9 Senti (Puisi Taufik Ismail)

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok.

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah…ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok.

Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok.

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok.

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok.

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok.

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya. Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stop-an bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS.

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena.

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok.

Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemisngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok.

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu- na’im sangat ramah bagi orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.

Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.

Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, kemana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya.

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.

Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan.

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka.

Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk.

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas.

Lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah korban narkoba.

Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya.

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini.
Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

Friday, May 7, 2010

Surat Terbuka untuk APRIL (Asia Pacific Resources International Limited)

Setelah bulan lalu menyoroti SMART Tbk yang mewakili bisnis perkebunan kelapa sawit, kini giliran Greenpeace menyoroti APRIL (Asia Pacific Resources International Limited) yang mewakili bisnis hutan tanaman industri (pulp and paper). Terlepas dari tingkat validitas data yang dipergunakan, salah satu yang membuat ganjalan kurang enak adalah dalam foto depan di relase news tersebut menyebutkan keterangan PT.Arara Abadi-Siak sebagai anak perusahaan APP (Asia Pulp and Paper). Mungkin ini salah publikasi? Atau ada unsur kesengajaan bahwa sekali "pukul" maka dua target langsung terkena. Setahu saya PT.Arara Abadi adalah dibawah SMF bukan APRIL.


Kepada Yth
Sukanto Tanoto
Chairman APRIL

Hari ini di Bogor, konsultan internasional Tropenbos akan memfasilitasi konsultasi publik untuk penilaian Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (High Conservation Value - HCV) operasi pulp and paper APRIL di Semenanjung Kampar, Sumatra. Ini menyusul konsultasi serupa di Riau bulan April lalu yang tidak dihadiri oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang ada di Riau. Untuk alasan yang sama, Greenpeace tidak akan berpartisipasi di konsultasi publik hari ini.

Pertama sekali, sikap Greenpeace dan Jikalahari kukuh bahwa Semenanjung Kampar harus dilindungi. Karena Kampar adalah habitat penting bagi keanekaragaman hayati termasuk Harimau Sumatra, dan juga rumah bagi banyak masyarakat lokal yang menolak melihat hutannya dihancurkan. Masyarakat dari Teluk Meranti dan desa sekitar terus melawan rencana APRIL untuk mengkonversi hutan menjadi perkebunan pulp and paper, karena masyarakat sadar akan dampak negatif baik secara sosial maupun ekonomi.

Lebih jauh lagi, Semenanjung Kampar adalah kawasan yang sangat penting bagi stabilitas iklim dan merupakan salah satu kawasan hutan tropis lahan gambut terbesar di dunia. Dengan luasan lebih dari 700.000 hektar, lahan gambut di area ini sebagian besar dalam, menyimpan lebih dari 2 miliar ton karbon, angka per hektar yang paling tinggi dibanding jenis ekosistem tanah mana pun, sehingga kawasan ini menjadi salah satu benteng pertahanan global melawan perubahan iklim.

Karena itu, setiap asesmen untuk membenarkan kegiatan konversi yang tengah berlangsung di kawasan penting ini tidak bisa diterima. Asesmen Tropenbos dilakukan untuk mencoba melegitimasi kegiatan perusakan hutan besar-besaran di Kampar, sementara mengesampingkan sebaran HCV, dimana seluruh area Kampar seharusnya dilihat sebagai kawasan bernilai konservasi tinggi, bukan mencari area mana yang bisa dikeringkan dan dihancurkan hutannya. Pembabatan hutan tidak boleh terjadi sama sekali.

Kedua, aktivitas pembabatan hutan oleh APRIL di Kampar adalah ilegal menurut hukum Indonesia. Semenanjung Kampar sudah ditentukan sebagai kawasan lindung menurut Peraturan Pemerintah (PP) No.26 tahun 2008, pasal 52 dan 55, serta Keputusan Presiden No.32 tahun 1990, dimana seluruh kawasan lahan gambut yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 meter harus dilindungi. Greenpeace telah menyerahkan kasus ini kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan meminta menteri untuk melakukan investigasi. Asesmen HCV di kawasan yang menurut hukum Indonesia seharusnya tidak boleh dikonversi hanya akan menjadi pengulangan. Greenpeace dan Jikalahari mempertanyakan alasan Tropenbos yang menyetujui untuk melakukan asesmen ini.

Greenpeace menghadiri konsultasi HCV bagi pemegang saham APRIL yang dilakukan di Pekanbaru November 2009 lalu, untuk membeberkan kemunafikan APRIL dengan mempresentasikan komitmen mereka melindungi Semenanjung Kampar, tetapi pada saat bersamaan alat-alat berat mereka sedang menghancurkan hutan Kampar dan mengeringkan lahan gambut di utara Semenanjung Kampar.

Pada November Kementerian Kehutanan mengambil langkah menghentikan sementara seluruh izin APRIL untuk melakukan investigasi. Greenpeace dan Jikalahari mendesak Pemerintah Indonesia untuk bertindak lebih tegas dengan mencabut izin APRIL dan RAPP di Semenanjung Kampar dan segera mengimplementasikan perlindungan kawasan itu. Ini harus menjadi langkah pertama bagi implementasi moratorium (penghentian sementara) penghancuran hutan nasional dan perlindungan menyeluruh terhadap lahan gambut Indonesia.

Lebih jauh lagi, APRIL harus mengambil tanggung jawab dan segera
menghentikan seluruh pembabatan hutan alam dan lahan gambut. Kami meminta pihak-pihak lain seperti perusahaan audit, konsumen atau donor asing, untuk menghentikan kerja sama dengan perusahaan hingga APRIL menghentikan kegiatan perusakan hutan dan lahan gambut.

Hormat Kami,

Bustar Maitar, Team Leader Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara
Susanto Kurniawan, Jikalahari


Sumber : http://www.greenpeace.org/seasia/id/news/surat-terbuka-utk-APRIL

Tuesday, April 27, 2010

Plantations are not forests

Berikut pers release dari Greenpeace sehubungan dengan rencana pemerintah untuk merancang sebuah peraturan yang memasukkan perkebunan kelapa sawit ke dalam kategori hutan.

JAKARTA, Indonesia — Pemerintah saat ini tengah merancang sebuah peraturan yang memasukkan perkebunan kelapa sawit ke dalam kategori hutan. Peraturan ini akan membuat kehancuran dan krisis habitat hewan maupun keanekaragaman hayati di hutan dan lahan gambut akan berkenjutan tanpa terkendali.

Greenpeace menolak rencana peraturan tersebut dengan membentangkan spanduk di Gedung Departemen Kehutanan yang bertuliskan "Plantations are not forests" (perkebunan bukan hutan). Tidak saja Greenpeace yang menolak peraturan tersebut, organisasi lingkungan dan masyarakat sipil pun menolak rencana peraturan tersebut.

Jika perkebunan akhirnya dimasukkan dalam kategori hutan, dikhawatirkan akan menyebabkan makin besarnya emisi dari perusakan hutan dan lahan gambut yang saat ini sudah sangat besar, membawa Indonesia menjadi negara terbesar ketiga penghasil emisi. Tingginya tingkat konsumsi CPO (Minyak Kelapa Sawit) dan rencana penggunaan Biofuel di pasar internasional membuat perluasaan kehancuran hutan dan gambut di Indonesia.

"Menteri Zulkifli Hasan harus segera membatalkan segala rencana untuk memasukkan perkebunan dalam kategori hutan dan mulai fokus pada bagaimana melindungi hutan Indonesia yang masih tersisa, biodiversitas, serta masyarakat yang hidupnya bergantung kepada hutan. Jika rencana ini diteruskan, kerusakan dahsyat hutan akan terjadi dan menteri akan bertanggung jawab atas gagalnya Indonesia memenuhi komitmen penurunan emisi yang telah dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," ujar Joko Arif, Jurukampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara.

Indonesia saat ini berada di posisi ke pertama sebagai Negara dengan laju deforestasi tercepat di seluruh dunia, dan Negara penghasil emisi ketiga terbesar di dunia. Apa yang telah di lontarkan Presiden SBY di suatu forum internasional tentang komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi hingga 26% pada 2020 dan 41% dengan dukungan internasional harus di dukung dengan aksi atau suatu kebijakan yang nyata untuk menjaga hutan alam yang tersisa .

Tetapi yang saat ini terjadi pemerintah tersu mendukung pembukaan perkebunan baru dan membiarkan industri besar seperti Sinar Mas dan APRIL menghancurkan hutan.

Dunia internasional akan melihat Indonesia jika benar-benar memiliki komitmen untuk menjaga hutan. Dana dari Negara internasional pun akan datang sejalan dengan langkah nyata Indonesia. Mempromosikan perkebunan sebagai hutan merupakan sesuatu yang bertolak belakang dengan komitment Presiden SBY. Langkah nyata yang harus di lakukan pemerintah adalah dengan melakukan moratorium (jeda tebang) untuk mengatasi dampak buruk perubahaan iklim dan melindungi masyarakat yang bergantung pada hutan. Moratorium merupakan cara paling efektif.

Beberapa organisasi lingkungan seperti Walhi, Forest Watch dan Sawit watch telah mengirimkan surat secara terbuka kepada menteri kehutanan dan Duta besar Uni Eropa untuk memperingatkan mereka akan bahaya dari rencana peraturan yang salah ini.

Sumber : http://www.greenpeace.org/seasia/id/news/perkebunan-bukan-hutan

Friday, April 23, 2010

Jadwal Piala Dunia 2010

Balikpapan - Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan tinggal sekitar 2 bulan ke depan. Untuk pertama kalinya perhelatan akbar ini akan digelar di Benua Afrika. Sepertinya bakal menghadirkan banyak hal-hal yang tak terduga. Untuk melihat jadwal lengkapnya silahkan unggah disini.

Tuesday, April 20, 2010

Sudah Merajalela, Mafia Tambang Harus Diberantas

Senin, 19/04/2010 20:51 WIB (
Nurseffi Dwi Wahyuni - detikFinance)

Jakarta
- Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mendukung upaya pemberantasan mafia tambang baik di tingkat daerah maupun pusat, yang saat ini sedang dilakukan oleh satuan tugas (satgas) pemberantasan mafia hukum. Karena saat ini praktek mafia tambang sudah sangat merajalela dan menjamur.

"Iya, kami dukung itu. Yang namanya perbaikan mau pusat kena, mau provinsi kena ya biarin saja," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Setiawan sebelum menghadiri rapat kerja dengan Komisi VII, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin malam (19/4/2010).

Selain mafia tambang, hal lain yang harus diberantas adalah kegiatan penambangan liar yang saat ini jumlahnya sudah menjamur di tanah air.

"Kaya illegal minning, itu juga mafia menurut saya, masa menambang pakai buldozer, pakai alat berat itu sih sudah rampok namanya," ungkapnya.

Menanggapi keluhan Direktur PLN Dahlan soal rencana akuisisi sejumlah Kuasa Pertambangan (KP) yang tidak dapat dilakukan BUMN listrik tersebut karena tidak punya kemampuan untuk menyogok, Bambang menilai kasus yang dialami PLN tersebut tidak bisa dikategorikan dalam mafia tambang. Menurutnya, hal itu terjadi karena Pemerintah daerah (Pemda) memberikan izin KP kemana-mana.

"Mafianya bukan mafia. Itu Pemda bagi-bagi izinnya kemana-mana," kata dia.

Seperti diketahui, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mulai mengendus praktek makelar kasus (markus) dalam sektor energi dan pertambangan. Karena itu, mereka akan segera turun ke daerah-daerah untuk membongkar praktek tersebut khususnya di industri batubara.

Menurut Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana, selain merugikan negara, praktek mafia pertambangan juga ikut merusak lingkungan dan hutan. Salah satu indikasi keberadaan mafia tambang, yakni banyaknya kasus tumpang tindih lahan antara perusahaan pemegang kuasa pertambangan batubara dengan kawasan hutan.

Hal senada juga disampaikan Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran, Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas. Menurut dia, praktek mafia perizinan tambang sudah lama terjadi di tanah air. Praktek ini sulit dihilangkan karena tidak hanya melibatkan pemerintah daerah, namun juga pemerintah pusat dan para mantan pejabat tinggi di tanah air.

keberadaan mafia perizinan tambang ini, salah satunya ditunjukkan dengan adanya tumpang tindih izin Kontrak Karya (KK) yang diterbitkan pemerintah pusat dengan izin Kuasa Pertambangan (KP) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah (baik pemerintah Provinsi, maupun Kabupaten/Kota) di suatu wilayah pertambangan.

Selain itu, tumpang tindih juga kerap kali terjadi antara izin KP yang satu dengan KP lainnya.

"Contohnya di Kutai, ada tumpang tindih antara KP yang satu dengan KP yang lain, dan ternyata itu terjadi karena ada suap. Kalau di level pusat, bisa dilihat dari adanya bentrok antara izin usaha pertambangan dengan izin usaha hutan," kata dia.

Untuk praktek mafia di daerah, menurutnya, dimulai sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 1999. Sementara kalau di tingkat pusat, sudah berlangsung sejak KK generasi pertama dikeluarkan pada tahun 1967. Praktek ini semakin subur karena melibatkan berbagai pihak, bukan hanya di tingkat daerah namun hingga ke tingkat pusat.

"Jadi area ini lebih sensitif dari makelar pajak. Karena pertambangan adalah bisnis yang besar dan juga melibatkan mantan pejabat-pejabat tinggi seperti mantan jenderal dan mantan menteri sehingga dibutuhkan keberanian untuk memberantasnya," pungkasnya.
(epi/dnl)


Wednesday, April 7, 2010

Sawit Hanya Boleh di HPK

Jakarta (ANTARA) - Kementerian kehutanan hanya membolehkan penanaman pohon kelapa sawit di areal hutan produksi konversi (HPK) dalam kerangka investasi kehutanan.

Dengan demikian, kata Dirjen Bina Produksi Kehutanan (BPK), Kemenhut, Hadi Daryanto, di Jakarta, Rabu, tanaman sawit hanya merupakan bagian dari konsesi untuk pembangunan kehutanan karena Indonesia justru memiliki keunggulan komparatif dalam bidang keanekaragaman hayati dan luas hutan nasional.

Karena itu, menurut dia, "Rugi kalau kita justru mengejar pembangunan kebun kelapa sawit dengan mengorbankan kawasan hutan yang ada karena Malaysia lebih unggul dari kita. 80 persen kebun sawit di Indonesia juga dikuasai investor Malaysia."

Hadi mengatakan tanaman hutan tetap harus mendominasi areal konsesi. Kalau ingin seluruhnya tanaman sawit, menurut dia, investor bisa memanfaatkan lahan yang sudah disediakan pemerintah seluas tuju juta hektar dan sampai kini masih terlantar karena belum banyak terealisir jadi kebun.

Pada kesempatan itu, Hadi juga mengatakan wacana memasukan tanaman sawit sebagai tanaman hutan yang dibicarakan akhir-akhir ini telah disalahartikan publik.

Menurut dia, masyarakat mengartikan kehutanan mengambil tanaman sawit sebagai komoditas kehutanan. "Sebenarnya bukan itu. Kalau untuk sawit biarkan saja memanfaatkan lahan tujuh juta hektare itu, tapi untuk menanam sawit di kawasan hutan harus di areal HPK yang saat ini masih 23 juta hektar," kata Hadi.

Dirjen BPK itu menjelaskan kawasan HPK yang boleh ditanami sawit juga hanya sekitar 30 persen dari luas tanaman pokok (kayu) yang ada di areal HPK tersebut.

Hadi mengatakan sebenarnya upaya memasukan tanaman nonhutan di areal konsesi HTI sudah dilakukan dengan Kepmen 614/1999 tanggal 9 Agustus 1999 yang diterbitkan satu bulan sebelum UU No.41/1999 tentang kehutanan terbit.

"Dalam aturan itu disebutkan bahwa investasinya berbentuk hutan tanaman campuran. Namun beberapa investor yang diberi izin untuk menggarap HTI jenis ini dicabut izin konsesinya karena tanaman sawit lebih mendominasi dari pada tanaman hutan. Sejak saat itu, rencana memasukan tanaman non hutan dalam areal HTI terus bergulir hingga saat ini."

Apalagi, lanjut dia, ada payung hukum yang memungkinkan tanaman non hutan masuk ke areal HTI, misalnya dalam PP No.6/2007 pasal 39 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan investasi pada hutan tanaman dimungkinkan memasukan tanaman hutan sejenis atau berbagai jenis. Kemudian dalam UU No.41/1999 jo. Pasal 28 alenia ke 4 disebutkan usaha pemanfaatan hutan tanaman boleh dengan tanaman kayu sejenis atau dan tanaman kayu jenis lain.

Pada kesempatan itu, Hadi menegaskan, Kementerian Kehutanan tetap mengutamakan pengelolaan hutan lestari, produksi yang bertanggungjawab, mencegah perambahan dan kebakaran hutan, pemberantasan illegal logging dan berkoordinasi yang baik dengan instansi terkait dalam kerangka penggunaan atau pelepasan kawasan hutan untuk mengurangi laju deforestasi.

"Memasukan sawit dalam areal konsesi HTI itu merupakan wujud dari koordinasi yang baik dengan sektor lain tadi. Ini juga upaya kehutanan meningkatkan investasi di HTI. Kita undang investor menanamkan modalnya di HTI, tapi mereka juga boleh menanam sawit di areal konsesi," kata Hadi.

Untuk menghindari adanya penyalahgunaan ijin seperti tahun 1999 dalam hutan tanaman campuran, lanjut Hadi, pihaknya sedang memfinalisasi peraturan/kebijakan Monitoring Reporting Verificating (MRV) HTI. "Jadi sejak awal mereka menanam terus bisa di monitor, ini wujud transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan HTI," kata dia.

Ia mengatakan saat ini Kementerian Kehutanan tinggal menunggu waktu yang tepat untuk mengeluarkan kebijakan itu. "Sebenarnya tak perlu PP karena sudah ada yakni PP No.6/2007, tinggal merevisinya saja."

Sumber : Antara 10/Mar/2010 20:35

Perkebunan Kelapa Sawit akan Masuk Sektor Kehutanan

JAKARTA. Ini bisa menjadi berita bagus bagi para investor perkebunan kelapa sawit. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, sedang menyiapkan Peraturan Menteri yang akan memasukkan perkebunan kelapa sawit menjadi bagian dari tanaman hutan. Dengan peraturan ini, diharapkan tekanan terkait perusakan lingkungan bagi sektor perkebunan sawit akan bisa dihilangkan.

Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan (BPK) Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto mengatakan PP yang memperbolehkan dimasukkannya perkebunan sawit sudah ada, sehingga sekarang yang perlu dilakukan adalah mengeluarkan peraturan menteri yang mempertegasnya. “PP-nya sudah ada tinggal peraturan menteri saja, kita akan segera mengeluarkannya,” kata Hadi di Jakarta, hari ini.

Ia mengatakan, peraturan ini tidak akan menarik kewenangan Kementerian Pertanian di sektor tersebut. Dengan peraturan ini diharapkan investasi di kelapa sawit tidak akan mengorbankan kawasan hutan, namun tetap berjalan. “Seperti Malaysia, juga seperti definisi FAO (Food and Agriculture Organization) yang menyatakan kebun juga tetap merupakan kawasan hutan. Buat Kehutanan akan ada kenaikan investasi , namun kalau komoditas dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) masuk pertanian kan tidak masalah ,” katanya.

Menurutnya, hal yang sangat bodoh jika Indonesia menggunakan dikotomi atau pembedaan antara perkebunan dan kehutanan, apalagi di peraturan seperti UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan dan peraturan seperti PP 6 tahun 2007 memperbolehkan dimasukkannya perkebunan ke sektor kehutanan. Dalam peraturan tersebut dikatakan, tanaman berbagai jenis bisa dimasukkan dalam sektor kehutanan.

Dengan masuk ke sektor kehutanan, maka akan ada mozaik bukan hanya kebun sawit keseluruhan. “Jika masuk kebun maka semua sawit, tapi di kehutanan ada mozaik, 70% tanaman pokok, 25% tanaman kehidupan dan 5% tanaman pangan,” katanya. Dengan mozaik itu, menurut Hadi, akan ada kawasan lindung yang ditujukan untuk pelestarian lingkungan dan perlindungan satwa sehingga wawasan lingkungannya akan lebih kuat.

Menurutnya, izin yang diberikan untuk perkebunan sawit nantinya bukan berupa hak guna usaha (HGU), karena dengan HGU seperti menjadi milik pribadi sehingga investor akan melakukan efisiensi sehingga semua ruang akan ditanami sawit. Ia mencontohkan, di kehutanan ada Hutan Tanaman Industri (HTI) yang lebih bagus dari segi lingkungan karena ada zoning.

Ketentuan ini akan diberlakukan untuk investasi kelapa sawit yang baru, dan kepada regenerasi dari investasi yang sudah jalan. “Yang sudah jalan akan susah diterapkan, nanti pada waktu regenerasi baru akan diberlakukan,” katanya.


Kelapa Sawit Boleh Ditanam di Hutan Produksi

Jakarta - Kementrian Kehutanan mempersiapkan Peraturan Menteri yang memperbolehkan penanaman kelapa sawit menjadi bagian dari pembangunan hutan tanaman.

"Peraturan Pemerintah (PP)-nya sudah ada, tinggal peraturan menteri saja. Kita akan segera mengeluarkannya," kata Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Produksi Kehutanan (BPK) Kementrian Kehutanan, Hadi Daryanto, di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, Permenhut yang mengatur tentang tata laksana usaha perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan ini diharapkan dapat menekan kerusakan.

Hadi menambahkan Permen itu merujuk PP yang memperbolehkan dimasukkannya perkebunan sawit sebagai bagian dari usaha sektor kehutanan, namun, bukan berarti akan menarik kewenangan Kementerian Pertanian di sektor tersebut.

"Melalui peraturan ini diharapkan investasi di kelapa sawit tidak akan mengorbankan kawasan hutan, namun tetap berjalan," katanya.

Dia mencontohkan kebijakan negara tetangga Malaysia yang memasukkan system pengelolaan perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari kegiatan sector kehutanan. Bahkan organisasi dunia Food and Agriculture Organization (FAO) mendifinisikan pengelolaan perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari kegiatan di kawasan hutan.

"Ketentuan ini akan mendorong dan menaikkan investasi di sektor kehutanan. Namun kalau Badan Pusat Statistik (BPS) memasukkan kelapa sawit dalam subsektor pertanian tidak masalah," katanya.

Menurut dia, sangat bodoh jika pemerintah Indonesia menggunakan dikotomi atau membedakan antara perkebunan dan kehutanan. Apalagi diatur perundang-undangan, seperti UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan dan peraturan seperti PP 6 tahun 2007 memperbolehkan penanaman pohon perkebunan dalam kawasan hutan tanaman.

"Dalam peraturan tersebut dikatakan, tanaman berbagai jenis bisa dimasukkan dalam sektor kehutanan."

Apabila sektor perkebunan kelapa sawit masuk menjadi bagian kegiatan kehutanan, lanjutnya, akan ada HTI mozaik yang tidak hanya berisi tanaman keras di seluruh hamparan, tetapi juga ada tanaman kelapa sawit.

"Jika masuk kebun maka semua sawit, tapi di kehutanan ada mozaik, 70 persen tanaman pokok, 25 persen tanaman kehidupan dan 5 persen tanaman pangan," katanya.

Menurut dia, izin yang diberikan untuk perkebunan sawit di hutan produksi nantinya bukan berupa hak guna usaha (HGU), karena dengan HGU seperti menjadi milik pribadi, sehingga investor akan melakukan efisiensi sehingga semua ruang akan ditanami sawit.

Ia mencontohkan, di kehutanan ada Hutan Tanaman Industri (HTI) yang lebih bagus dari segi lingkungan karena ada zoning. Ketentuan ini akan diberlakukan untuk investasi kelapa sawit yang baru dan kepada regenerasi dari investasi yang sudah jalan.

"Aturan ini susah diterakan untuk hutan tanaman yang sudah jalan. Pada waktunya nanti, regenerasi baru akan diberlakukan," katanya. (A027/K004)

Sumber : http://www.indonesia.go.id/id/

Perkebunan Sawit Pemilik RSPO Masih Minim

PEKANBARU: Pasar crude palm oil (CPO) di Uni Eropa mengutamakan produk yang memiliki sertifikat RSPO, tetapi diIndonesia, perusahaan yang mengantongi sertifikat itu masih minim (3 perusahaan).


Ketua Bidang Budidaya dan Industri Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Daud Dharsono, mengatakan saat ini negara-negara di Eropa dan Amerika lebih mengedepankan produk yang berkelanjutan.

“Ke depan, produk-produk yang tersertifikasi lebih mendapat prioritas,” tuturnya pada Workshop Sustainable Palm Oil yang digelar Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit
Indonesia (Gapki) di Pekanbaru, Selasa.

Di Indonesia, baru tiga perusahaan yang termasuk di antara 11 perusahaan kelapa sawit di dunia yang telah memiliki sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Dari tiga perusahaan itu, total CPO yang termasuk produk minyak sawit berkelanjutan (sustainable palm oil/SPO) sekitar 1,7 juta ton, sedangkan total produksi CPO Indonesia sekitar 20 juta ton.

Daud mengatakan minimnya perusahaan industri sawit yang memiliki sertifikat RSPO merugikan kelangsungan ekspor CPO Indonesia. Pasalnya, total produksi CPO Indonesia sudah mencapai 20 juta ton dan mayoritas berorientasi ekspor.

Adapun penggunaan CPO yang diserap untuk keperluan di dalam negeri hanya 5 juta ton. “Kalau hal ini terus dibiarkan, CPO kita tidak bisa bersaing, bahkan bisa tidak laku di pasar dunia," ujarnya.

Kendala umum


Dia mengatakan salah satu kendala umum dari penerapan sertifikasi RSPO di Indonesia adalah mengenai kriteria penanaman sawit di daerah aliran sungai agar ramah lingkungan.

Dalam aturan RSPO, daerah aliran sungai tidak boleh seluruhnya ditanami sawit karena harus berjarak 50 meter dari tepian.

“Hal itu, tampaknya sulit dilakukan karena kondisi di lapangan kebun sawit sudah menjejali hingga pinggiran sungai, apalagi untuk perkebunan rakyat yang menjadi mitra perusahaan,” katanya.

Liaison Officer RSPO Indonesia, Desi Kusumadewi, mengatakan sertifikasi ini dianggap sebagai indikator CPO yang dijual telah melalui tahap evaluasi, sebagai bentuk efisiensi usaha dan produktivitas minyak sawit yang dihasilkan.

“Di dunia, baru 11 perusahaan yang telah mendapatkan sertifikasi RSPO, dan tiga di antaranya perusahaan
Indonesia,” ujarnya.

Dia mengatakan saat ini berbagai perusahaan di dunia mulai menerapkan prinsip dan kriteria RSPO untuk mendapatkan sertifikasi tersebut. Bahkan, meski ini tidak diwajibkan dan hanya bersifat sukarela, perusahaan dan pasar tetap memperhatikan hal ini sejak beberapa waktu lalu.

Ke-11 perusahaan yang telah mendapatkan sertifikasi RSPO tersebut tersebar di tiga negara yakni
Indonesia, Malaysia, dan Papua Nugini (PNG). Saat ini juga terdapat 14 perusahaan yang di audit lembaga sertifikasi independent yang mendapat persetujuan dari RSPO seperti Control Union, SDS dan Sucofindo.

Di Indonesia, baru tiga perusahaan yang sudah mendapat sertifikasi RSPO. Yakni PT Musim Mas di Sorek (Riau) pada 19 Januari 2009, PT Hindoli di Sumatra Selatan pada 26 Februari 2009, sedangkan di Sumatra Utara PT PP London Sumatra pada 30 April 2009.

Perusahaan yang sudah diaudit tetapi belum mendapat sertifikasi di antaranya PT Sime Indo Agro di Kalimantan Barat, PT Bakrie Sumatera Plantation di Kisaran, PT Indotruba Tengah Plantation di Kalteng. Pada 23 Mei dan 12 Juni lalu PT Tunggal Mitra dan PT Berkat Sawit Sejati telah diaudit, terakhir PT Agrowiratama di Sumbar pada 15 Juni 2009.

Laksama Aditya, Direktur Asian Agri, mengatakan sejauh ini perusahaannya tengah melakukan proses menuju mendapatkan RSPO bagi produk CPO. “Saat ini, kita sedang dievaluasi untuk mendapatkan sertifikasi RSPO. Namun, yang terpenting, ada komitmen untuk mengarah ke
sana. Mudah-mudahan bisa cepat hasil evaluasinya,” katanya.

Dia mengatakan untuk mendapatkan sertifikasi RSPO itu hampir sama ketika Asian Agri mendapatkan serifikasi ISO 9000 dan ISO 1400 yang mengarahkan perusahaan untuk kembali menjaga konsistensi dan proses dokumentasi. “Proses dokumentasi ini
kan perlu ditata kembali dan ditertibkan. Ini perlu waktu. Dokumentasi yang tertata itu sangat penting dan menjadi poin pokok yang harus diperhatikan,” jelasnya. (k52) (redaksi@bisnis.co.id)

Sumber : Bisnis
Indonesia, Jum’at 3 Juli 2009 Hal.16

Saturday, March 27, 2010

Litbang Kehutanan Kembangkan Kayu Lapis Sawit

S I A R A N P E R S
Nomor: S.306/PIK-1/2009

LITBANG KEHUTANAN KEMBANGKAN KAYU LAPIS SAWIT

Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan mengembangan penggunaan batang kayu sawit yang sudah tidah produktif lagi untuk dijadikan kayu lapis. Penggunaan batang sawit sebagai bahan baku industri kayu lapis ini memiliki keuntungan ganda, pertama bisa memanfaatkan limbah menjadi komoditas bernilai ekonomis tinggi. Kedua, solusi mencegah terus berlanjutnya degradasi alam karena dengan adanya bahan baku dari non kehutanan, maka penebangan kayu di hutan alam akan berkurang.

Pengembangan kayu lapis sawit ini cukup menjanjikan karena potensi bahan baku batang sawit cukup besar, diperkirakan hasil replanting sebesar 25 juta m3/tahun. Pengembangan areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan secara pesat. Pada tahun 1998 luas tanaman perkebunan sawit telah mencapai lebih dari 2,63 juta ha, sedangkan pada tahun 2003 luas perkebunan sawit telah mencapai lebih dari 4,93 juta ha. Data tersebut menunjukkan bahwa perluasan kebun sawit nasional dalam periode tersebut mencapai lebih dari 400.000 ha per tahun.

Saat ini telah dilakukan kerjasama Litbang Kehutanan dengan PT INHUTANI IV Riau dengan melakukan ujicoba pemanfaatan batang sawit untuk venir dan kayu lapis di pabrik PT Asia Forestama Raya, Rumbai, Riau. Kerjasama tersebut merupakan pioner dalam komersialisasi kayu sawit, sehingga hasil yang diperoleh akan menjadi dasar kebijakan dalam penyusunan prosedur pemanfaatan batang sawit dan mekanisme pengembangan industri kayu sawit. Bahan sawit yang digunakan dalam ujicoba terdiri dari dua kelas umur, yaitu tanaman sawit umur 22 dan 25 tahun, dengan volume kayu masing-masing 60m3 dan 40 m3. Kedua kelompok tanaman ini berasal dari areal perkebunan PTP Nusantara V, Riau.

Beberapa catatan hasil ujicoba tersebut yaitu :
  1. Batang sawit dapat dimanfaatkan untuk pembuatan panel kayu lapis dengan menggunakan fasilitas konvensional yang terdapat pada industri kayu lapis.
  2. Percobaan produksi venir kayu menghasilkan rendemen venir basah dan kering, masing-masing sebesar 67% dan 36%.
  3. Perlakukan pemadatan (densifikasi) pada struktur venir kayu sawit dapat mengurangi volume kayu sawit hingga 50%.
  4. Rendemen venir maupun panel kayu lapis sawit lebih rendah dibandingkan dengan rendemen produksi kayu dari hutan tanaman maupun kayu dari hutan rakyat.
  5. Peningkatan efisiensi dan produktivitas dalam pembuatan venir dan panel kayu lapis sawit dapat dilakukan melalui beberapa modifikasi pada mesin dan peralatan produksi.
  6. Produk kayu lapis sawit memiliki nilai ekonomi relatif baik dibandingkan dengan produk serupa yang terbuat dari kayu hutan tanaman.
  7. Produksi venir dan kayu lapis sawit secara komersial perlu melibatkan pihak perkebunan sebagai pemilik bahan baku. Hal ini perlu diperhatikan guna memperoleh kepastian pasokan bahan baku, menghindari gangguan pihak ketiga, serta minimasi biaya bahan baku.

Jakarta, 11 Juni 2009
Kepala Pusat Informasi Kehutanan,
ttd.
M a s y h u d
NIP.19561028 198303 1 002


Wednesday, March 24, 2010

UTM/TM3 Projection System for Indonesia


















Sistem proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM) :
  • Didasarkan pada sistem proyeksi Transverse Mercator (TM)
  • Lebar zona adalah 6 derajat
  • Meridian central terletak di tengah-tengah zona
  • Longitude of origin adalah central meridian
  • Latitude of origin adalah ekuator (Nol derajat)
  • False Easting adalah 500.000
  • False Northing adalah 10.000.000
  • Faktor skala di meridian sentral adalah 0.9996
Sistem proyeksi Transverse Mercator 3 (TM-3) :
  • Didasarkan pada sistem proyeksi Transverse Mercator (TM)
  • Lebar zona adalah 3 derajat
  • Meridian central terletak di tengah-tengah zona
  • Longitude of origin adalah central meridian
  • Latitude of origin adalah ekuator (Nol derajat)
  • False Easting adalah 200.000
  • False Northing adalah 1.500.000
  • Faktor skala di meridian sentral adalah 0.9999


Tindak Lanjut Review Tata Ruang Provinsi

Menhut Tunjuk Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan di Tiga Provinsi Sebagai Tindak Lanjut Review Tata Ruang Provinsi

S I A R A N P E R S
Nomor: S.393/PIK-1/2009

MENHUT TUNJUK KAWASAN HUTAN DAN KONSERVASI PERAIRAN DI TIGA PROVINSI SEBAGAI TINDAK LANJUT REVIEW TATA RUANG PROVINSI

Pada tanggal 23 Juli 2009 Menteri Kehutanan telah menunjuk kawasan hutan dan konservasi perairan di tiga Provinsi, yaitu (1) Kalimantan Selatan, (2) Kabupaten Pahuwato, Provinsi Gorontalo, dan (3) Provinsi Sulawesi Selatan. Secara lebih rinci dapat dilihat pada tabel dibawah ini :


Provinsi

Pembagian kawasan menurut fungsi

KSA/KPA (ha)

HL (ha)

HPT (ha)

HP (ha)

HPK (ha)

Sulawesi Selatan SK No.434/Menhut-II/2009 seluas ± 2.725.796 ha

± 851.267

± 1.232.683

± 494.846

±124.024

± 22.976

Kalimantan Selatan SK No.435/Menhut-II/2009 seluas ± 1.779.982 ha

± 213.285

± 526.425

± 126.660

±762.188

± 151.424

Kab. Pahuwato Prov. Gorontalo SK No.433/Menhut-II/2009 seluas ± 368.299 ha

± 40.013

± 137.605

± 80.083

± 40.920

± 69.678

Keterangan :

1. KPA : Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam

2. HL : Hutan Lindung

3. HPT : Hutan Produksi Terbatas

4. HP : Hutan Produksi Tetap

5. HPK : Hutan Produksi yang dapat dikonversi

Sebelum dilakukan penunjukkan kawasan hutan dan konservasi perairan di ketiga Provinsi diatas, telah dilakukan perubahan peruntukkan kawasan hutan pada masing-masing Provinsi. Di Provinsi Kalimantan Selatan, terjadi perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas ± 59.503 ha, perubahan antar fungsi kawasan hutan seluas ± 99.594 ha, dan penunjukkan areal bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas ± 39.747 ha yang ditetapkan melalui Kepmenhut No:SK.432/Menhut-II/2009.

Sedangkan di Provinsi Sulawesi Selatan, terjadi perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas ± 2.583 ha, dan perubahan antar fungsi kawasan hutan seluas ± 171.988 ha, yang tertuang dalam Kepmenhut No:SK.417/Menhut-II/2009.

Dengan adanya Penunjukkan Kawasan Hutan pada ketiga Provinsi yaitu Kalimantan Selatan, Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo, Provinsi Sulawesi Selatan maka dapat menjamin kepastian hukum mengenai status kawasan hutan pada wilayah Provinsi masing-masing. Penunjukkan kawasan hutan di tiga Provinsi ini juga merupakan proges dari 15 provinsi lainnya yang telah mengajukan usulan perubahan kawasan hutan dalam revisi rencana tata ruang Provinsi yang saat ini masih dalam proses Tim Terpadu.

Jakarta, 3 Agustus 2009
Kepala Pusat Informasi Kehutanan,
ttd.
M a s y h u d
NIP. 19561028 198303 1 002